BUKAN hanya di Rohingya, bukan pula di Palestina.
Kejadian tragis ternyata menimpa umat Islam di Papua. Hari Idul Fitri yang
seharusnya dirayakan suka cita, nyatanya telah dirusak sekelompok radikal yang
membakar masjid tempat pelaksanaan shalat Idul Fitri di Tolikara, Papua. Sontak
saja kejadian ini menjadi sorotan kaum muslim di Indonesia.
Menurut Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, inti
persoalan adalah jemaat nasrani merasa terganggu speaker masjid umat muslim
yang akan melakukan shalat ied. Mereka kemudian meminta umat muslim membubarkan
shalat ied tersebut. Saat itulah kelompok nasrani melempari masjid dengan api
hingga terbakar. (republika.co.id, 17/7/2015). Peristiwa brutal itu berakibat
70 rumah kios berkonstruksi papan kayu terbakar. Jamaah yang sedang salat ied
sempat berhamburan dan menyelamatkan diri ke Koramil setempat. Personel
Polri/TNI berhasil melumpuhkan 11 orang penyerang. (news.detik.com, 17/7/2015).
Tindakan radikal ini pun menuai kecaman. Ketua MUI
bidang Pemberdayaan Ekonomi Umat, Anwar Abbas meminta pemerintah segera turun
tangan terhadap kasus pembakaran Masjid di Tolikara, Papua, Jumat (17/7).
“Aparat harus tangkap pelakunya. Orang seperti itu tidak pantas tinggal di
negara hukum yang menjaga toleransi umat beragama. Mereka yang seperti itu
tidak boleh tinggal di negara ini,” tegas Anwar. (republika.co.id).
Diskriminasi Tiada Henti
Dsikriminasi terhadap muslim Papua, tentunya bukan
hal baru. Pada tahun 2007 masjid Al Ikhlas milik warga muslim Organda, Abepura,
Papua; mengalami teror pelemparan batu semenjak didirikan. Demikian juga masjid
At Taqwa, Kota Jayapura, yang sejak 2005 hingga 2012, sering menjadi sasaran
pelemparan batu. Bahkan ketika disamping masjid ini akan dibangun pesantren,
tokoh-tokoh masyarakat non muslim menolaknya.
Kejadian serupa menimpa Yayasan Ponpes Al Muttaqin,
Bumi Perkemahaan, Waena, Papua. Bahkan pada tahun 2011, pihak Gereja Kristen
Indonesia (GKI) secara resmi melayangkan surat agar masjid yang berada di
kompleks Ponpes mematikan pengeras suara azan. Modus teror dengan lemparan batu
juga menimpa Masjid Nurul Iman, Polimak, Jayapura. Hal itu terjadi sejak tahun
1998 hingga tahun 2011, bahkan toa untuk azan pun dicuri. (Media Umat,
14/6/2012).
Pada Maret 2007, Pemkab dan DPRD Manokwari sempat
menyusun Rancangan Peraturan Daerah yang disebut ‘Raperda Kota Injil’. Perda
tersebut isinya sangat diskriminatif terhadap muslim Papua. Pasal 25 (1)
disebutkan, warga asli Papua adalah Kristen. Lalu pada ayat 2, nilai-nilai yang
diakui dalam aspek budaya, busana, dan agama adalah Kristen. Bahkan Pasal 30
menyebutkan, jika di suatu daerah sudah ada gereja maka dilarang mendirikan
masjid. Serta Pasal 37 melarang pemakaian simbol agama dalam berpakaian.
Sebaliknya, gedung-gedung pemerintahan wajib memajang salib. (mediaumat.com,
17/2/2009).
Tahun 2014 lalu sempat beredar surat larangan
penggunaan kerudung bagi siswi muslim di SD Negeri Entrop, Distrik Jayapura
Selatan, Kota Jayapura. Surat tersebut ditanda-tangani oleh kepala sekolah
bernomor 421.2/105/2014 tertanggal 30 September 2014. (news.liputan6.com,
1/10/2014).
Tak sampai berhenti disitu, pada akhir tahun 2014,
pemerintah Propinsi Papua melalui Biro Kesejahteraan Rakyat dan Kemasyarakatan
sudah menggodok dan menyosialisasikan draf rancangan Peraturan Daerah Khusus
(Perdasus) yang akan disahkan, tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keagamaan.
Menurut Wakil Ketua MUI Kota Jayapura Moedhar A Yassir, ada beberapa pasal yang
diskriminatif, diantaranya, Bab III pasal 10 disebutkan Pemerintah daerah harus
memprioritaskan pengangkatan tenaga kependidikan agama Kristen dan Katolik. Bab
VI pasal 16 berisi tentang pembatasan penggunaan pengeras suara hanya pada
hari-hari ibadat sesuai kalender saja. Bab VII pasal 18 menyatakan Hari besar
di Papua (Natal, Paskah, Pentakosta, Masuknya Injil) adalah hari libur.
(hizbut-tahrir.or.id, 22/12/2014).
Terakhir muncul sebuah surat yang diedarkan Badan
Pekerja Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang khusus ditujukan pada umat Islam
di Tolikara. Surat tertanggal 11 Juli 2015 itu berisi pemberitahuan jika di
Kabupaten Tolikara ada kegiatan seminar dan KKR Pemuda GIDI tingkat
internasional pada 13 – 19 Juli 2015. Badan Pekerja GIDI pun meminta umat Islam
membatalkan dan menunda semua kegiatan yang mengundang umat besar, termasuk
Idul Fitri. Ada 3 poin permintaan mereka. Pertama, tidak mengizinkan perayaan
Idul Fitri pada 17 Juli 2015 di wilayah Tolikara. Kedua, jika umat Islam akan
merayakan Idul Fitri harus dilaksanakan di luar wilayah Kabupaten Tolikara.
Ketiga, melarang wanita muslim menggunakan jilbab saat kegiatan GIDI
berlangsung. (sulsel.pojoksatu.id, 17/7/2015).
Demikianlah diskriminasi tiada henti menimpa muslim
Papua. Bukan tidak mungkin, umat Islam sebagai minoritas di Papua, akan
bernasib serupa dengan minoritas Rohingya, seperti penganianaan, pengusiran
dll. Karena itu perlu ada upaya serius dari penguasa negeri ini untuk
menyelesaikannya. Sehingga kejadian serupa Rohingya tidak terjadi di Papua.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment