Diskriminasi yang diawali dari surat edaran GIDI (Gereja Injili di Indonesia) yang berujung pada serangan terhadap umat Islam di Papua, menunjukan kepada kita bahwa regulasi dan kebijakan yang ada di negeri ini, telah gagal menjamin rasa aman, serta tidak ramah terhadap kaum muslim, baik sebagai mayoritas, apalagi jika menjadi minoritas.
Selain itu, penguasa negeri muslim ini nampak sekali tidak membela umat Islam. Bahkan umat Islam selalu disalahkan. Meski pada faktanya umatIslam adalah korban. Sedangkan umat agama yang lain, meski jelas-jelas ada sebagian pengikut menjadi kriminalnya, penguasa negeri ini tetap saja membela mereka, bahkan tidak keluar satu pun pernyataan mengutuk atau menyebut para pelaku tersebut sebagai tindakan teror.
Jika diamati secara serius, pangkal kisruh ini bermula ketika sistem Demokrasi diterapkan di negeri ini. Melalui mekanisme demokratis, apapun yang dihasilkannya pasti menjadi legal. Meski hasil dari mekanisme tersebut meniscayakan diskriminasi pada umat Islam, baik sebagai mayoritas, maupun minoritas. Kasus diangkatnya gubernur non muslim di Jakarta, diskriminasi terhadap umat Islam di Bali, di Tapanuli, Kupang NTT, Kalteng, di Papua, dll. merupakan bukti nyata, bagaimana Demokrasi tidak ramah terhadap umat Islam.
Gara-gara Speaker?
NAMUN sungguh disayangkan, ketika terjadi pembakaran masjid tempat shalat Ied warga muslim Tolikara, Papua, baru-baru ini. Wakil Presiden Jusuf Kalla malah menyebut sebab dari kasus pembakaran masjid di Papua ini adalah gara-gara speaker atau pengeras suara Masjid.
Menurut ketua DPP HTI Rochmat S. Labib, pernyataan JK ini mengesankan seolah-olah umat Islamlah yang menjadi pemicu. Hal ini merupakan pola berulang, selalu menyalahkan umat Islam yang menjadi korban. Padahal, adanya surat larangan yang dikeluarkan gereja terhadap ibadah umat Islam, menunjukkan masalah ini bukan sekedar speaker. Ditambah lagi adanya berbagai bentuk tekanan terhadap umat Islam selama ini di beberapa tempat di Papua. “Kalaupun ada masalah pengeras suara, apakah kemudian boleh bakar-bakaran seperti itu ?” tanyanya. Apalagi, lanjutnya, shalat Idul fitri tidaklah membutuhkan waktu lama, biasanya, tidak lebih dari 1 jam, apa salahnya memberikan umat Islam kesempatan dalam waktu yang tidak begitu lama untuk beribadah, ujarnya. (hizbut-tahrir.or.id, 18/7/2015).