Wednesday, 24 June 2015

CACATNYA PUASA KITA

Berikut beberapa kejanggalan waktu berpuasa kita. Pertama, Waktu imsak dipahami dengan “bunyi sirine” sebelum adzan subuh. Padahal puasa dimulai sejak “terbitnya fajar”. Terbitnya fajar (tepatnya fajar shadiq) merupakan pertanda masuknya waktu subuh, yang ditandai dengan adzan subuh. Jadi batas waktu sahur bukan saat bunyi sirine imsak yang sering kita dengar itu, tapi saat adzan subuh. Bunyi sirine itu lebih kepada "lampu kuning" atau semacam warning bahwa waktu sahur hampir habis. Jadi masih ada waktu untuk sahur sekitar 15 menit sejak sirine ditiup. Nabi saw sendiri mengatakan, adalah bagus bagi kita untuk meng-akhirkan waktu sahur, artinya sampai waktu azan. Namun demikian, kalau kita imsak lebih awal tentu tidak mengurangi nilai puasa.


Kedua, Demikian juga dengan waktu berbuka, bukan pada saat dipukul bedug atau sirine berbunyi. Kesempurnaan waktu berbuka adalah ketika sudah masuk waktu "malam." Seperti petunjuk Allah swt, "... Kemudian sempurnakan puasa itu sampai (datang) malam” (Qs.Al-Baqarah: 187). Jika kita amati kondisi alam, saat sirine berbunyi belumlah masuk waktu malam. Saat sirine berbunyi memang matahari baru saja tenggelam, tetapi belum masuk waktu "malam." Tengelamnya matahari adalah disebut waktu “menjelang” malam, belum masuk “malam”. Jadi apa itu "malam"?

Yang membedakan "siang" dengan "malam" bukanlah sekedar "matahari sudah terbit" atau "matahari sudah tenggelam". Iya, itu pertanda awalnya. Tapi kesempurnaan definisi "siang" dan "malam" adalah pada "cahaya". Ingat, kita disuruh memulai puasa pada saat terbit “fajar", bukan saat terbitnya matahari. Fajar terbit duluan sebelum matahari terbit. Artinya, kita memulai puasa saat keluarnya "cahaya" (fajar shadiq), sebelum matahari itu sendiri terbit.

Demikian juga waktu berbuka, adalah saat tidak ada lagi "cahaya" siang, bukan sekedar saat tenggelamnya matahari. Karena pada saat matahari tenggelam, walaupun langit sudah agak redup tetapi "cahaya"-nya masih terang menyinari ufuk barat alam, bahkan terlihat sekali berwarna kemerah-merahan. Jadi yang benar adalah, "malam" itu adalah ketika matahari sudah tenggelam serta "cahaya"-nya telah hilang. Ini sesuai dalil dari Nabi saw yang diriwayatkan dari Ashim bin Umar bin Khattab ra dari ayahnya ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Apabila malam datang dari sini, dan siang berlalu dari sini, sedang matahari terbenam sesungguhnya orang yang puasa boleh berbuka" (Shahih Bukhari, Hadits No.1865). Dalam hadist lainnya: Dari Abdullah bin Abu Aufa ra., ia berkata: "Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu perjalanan. Sedang beliau dalam keadaan berpuasa. Ketika matahari terbenam, maka beliau bersabda kepada, "Wahai Fulan, berdirilah, campurlah sawiq (tepung gandum) dengan air. "….. Orang yang diperintah lalu turun, terus membuat minuman. Kemudian Nabi saw minum lalu beliau bersabda: "Apabila kamu melihat malam datang dari sini maka berbukalah orang yang berpuasa." (Hadits No.1866). Dalam Shahih Muslim juga terdapat riwayat dari Umar bin Khattab ra yang mengatakan bahwa Rasululah saw bersabda, “Apabila siang telah pergi dengan terbenamnya matahari, maka orang yang berpuasa telah boleh berbuka.”

Ketika Alquran dan Hadist berbicara tentang “siang” dan “malam”, Alquran berbicara tentang "cahaya", bukan sekedar terbit atau tenggelamnya matahari. Misalnya di surah Yasin ayat 37 Allah SWT berfirman, “Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan.” Sementara di ayat pertama surah al-Lail, “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang).” Ini juga dapat dilihat pada surah al-Falaq ayat 3, “…dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita.
Jadi, sempurnanya waktu berbuka kita adalah ketika masuk waktu "malam", dan ini tejadi sekitar 15-20 menit setelah sirine yang biasa kita dengar. Tidak ada hadist yang mengatakan untuk berbuka puasa kalau sudah mendengar adzan magrib. Karena masuknya waktu magrib adalah saat masuk waktu malam, yaitu ketika matahari telah tenggelam serta “cahaya”-nya sudah hilang. Dengan demikian, waktu Magrib kebanyakan kita di Indonesia pun lebih cepat dari yang sebenarnya. Magrib kita cenderung pada “menjelang” malam, belum masuk waktu awal “malam.” Tentang ini sering menjadi pembahasan muslim dari negara-negara lain.

Bagaimana cara memastikan sudah masuknya waktu malam? Dalam Al-Baqarah:187 juga dijelaskan cara membedakan antara “siang” dengan “malam”: "... dan makan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” Cara paling sederhana membedakan “siang” dengan “malam” adalah dengan terlihatnya benang putih atau benang hitam. Saya masih teringat ketika kecil dulu di kampung diajarkan tentang waktu berbuka oleh teungku di dayah Sunni tradisional. Tidak hanya saya, orang tua kita dulu di Aceh juga punya cara yang sama untuk menentukan waktu berbuka, yaitu dengan “melihat bulu di tangan”. Caranya, jika sudah tidak nampak lagi bulu di tangan, maka pertanda sudah masuk waktu berbuka. Mengapa demikian? Karena bulu di tangan berwarna “hitam”, dan warna hitam bulu ini (sama dengan warna benang hitam) tidak akan kelihatan lagi ketika tidak adanya bantuan “cahaya”. Ini bisa di uji setiap hari. Ketika sirine berbunyi, bulu hitam di tangan masih terlihat dengan jelas karena cahaya matahari masih cukup kuat. Ini tanda belum masuk waktu malam, dan belum saatnya berbuka. Baru sekitar 15-20 kemudian, mata kita tak mampu lagi melihat bulu-bulu di tangan yang berwarna hitam tersebut karena ketiadaan cahaya matahari. Ini pertanda sudah masuk waktu “malam.”

Cara lain menandakan sudah masuknya waktu malam adalah dengan melihat sudah keluarnya minimal satu bintang di langit. Mengapa demikian? Karena bintang itu adalah benda bercahaya. Pada siang hari ia ada, tetapi tidak kelihatan karena terkalahkan oleh terangnya cahaya matahari. Namun ketika matahari sudah tenggelam dan cahayanya sudah hilang, barulah cahaya bintang akan muncul. Kalau kita perkenalkan cara seperti ini maka kita akan sering dituduh Syiah, Yahudi, dsb. Padahal ini petunjuk dari Alquran dan Hadist. Seperti firman Allah SWT, “Demi langit dan yang datang pada malam hari, tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?, (yaitu) bintang yang cahayanya menembus” (Qs. At-Thaariq: 1-3).

Muslim di Indonesia yang mayoritas Sunni kelihatannya agak cepat berbuka. Saya punya 5 mahasiswa Internasional dari Tajikistan, Kyrgistan, dan Kazakhstan yang menemuh studi di International Accounting Program (IAP) Fakultas Ekonomi Unsyiah. Mereka ini bermazhab Sunni. Ada pengalaman menarik ketika mereka diundang buka puasa besama. Mereka terkejut melihat kita berbuka terlalu cepat. Bagi mereka ini hal aneh, karena menurut mereka, Magrib di tempat kita terlalu cepat. Mereka menunggu sekitar 15-20 menit setelah kita berbuka, baru kemudian mereka berbuka. Padahal mereka juga Sunni. Artinya, berbuka puasa ketika sudah benar-benar masuk waktu malam (gelap) bukan cuma dipraktikkan oleh Mazhab Ja'fariyah, tetapi juga oleh sebagian besar Sunni.

Namun kini ketika berbuka puasa kita tidak lagi mengikuti petunjuk alam dan cahaya. Tetapi sudah ‘didikte’ oleh jadwal imsakiyyah dan sirine dari pemerintah. Tak jarang kita mendengar sirine berbunyi justru pada saat cahaya matahari masih terang benderang. Jadwal imsakiyyah ini juga tidak seratus persen akurat dengan kenyataan alam. Sebagian besar yang diajak berdiskusi tentang jadwal buka puasa yang benar akan berkata, “Saya ikut pemerintah saja. Jika salah, maka pemerintah yang menanggung dosa.” Bagi kita yang ingin mengamalkan puasa dengan benar, kita mesti punya pengetahuan. Karena amal yang benar adalah yang disertai ilmu, bukan ikut-ikutan. Karena hisab di akhirat  terjadi pada masing pribadi kita, bukan pada pemerintah. Maka jangan sekedar taqlid. Tetapi pelajari dan amalkan kebenarannya.

Terakhir, ada juga yang ketika sirine dibunyikan maka segera berbuka. Alasan mereka berbuka adalah perintah Nabi saw untuk “menyegerakan berbuka”. Iya, kita harus segera berbuka ketika memang sudah masuk waktunya. Bukan menyegerakan berbuka sebelum waktunya. Ini malah bisa batal puasa justru pada detik-detik menjelang berbuka, atau setidaknya puasa kita tidak sempurna. Atau jangan-jangan model berbuka sebelum waktunya adakah ciri khas “Islam Nusantara”? Tulisan ini bukan untuk memancing keributan, tetapi untuk menggugah kembali kesadaran ilmu ke-Islaman, untuk kesempurnaan amalan. Wallahu ‘alam. [Said Muniruddin, Sekjen KAHMI Aceh]

No comments:

Post a Comment