Monday 20 July 2015

JANGAN BIARKAN MUSLIM PAPUA MENJADI ROHINGYA 2

Diskriminasi yang diawali dari surat edaran GIDI (Gereja Injili di Indonesia) yang berujung pada serangan terhadap umat Islam di Papua, menunjukan kepada kita bahwa regulasi dan kebijakan yang ada di negeri ini, telah gagal menjamin rasa aman, serta tidak ramah terhadap kaum muslim, baik sebagai mayoritas, apalagi jika menjadi minoritas.
Selain itu, penguasa negeri muslim ini nampak sekali tidak membela umat Islam. Bahkan umat Islam selalu disalahkan. Meski pada faktanya umatIslam adalah korban. Sedangkan umat agama yang lain, meski jelas-jelas ada sebagian pengikut menjadi kriminalnya, penguasa negeri ini tetap saja membela mereka, bahkan tidak keluar satu pun pernyataan mengutuk atau menyebut para pelaku tersebut sebagai tindakan teror.
Jika diamati secara serius, pangkal kisruh ini bermula ketika sistem Demokrasi diterapkan di negeri ini. Melalui mekanisme demokratis, apapun yang dihasilkannya pasti menjadi legal. Meski hasil dari mekanisme tersebut meniscayakan diskriminasi pada umat Islam, baik sebagai mayoritas, maupun minoritas. Kasus diangkatnya gubernur non muslim di Jakarta, diskriminasi terhadap umat Islam di Bali, di Tapanuli, Kupang NTT, Kalteng, di Papua, dll. merupakan bukti nyata, bagaimana Demokrasi tidak ramah terhadap umat Islam.

Gara-gara Speaker?
NAMUN sungguh disayangkan, ketika terjadi pembakaran masjid tempat shalat Ied warga muslim Tolikara, Papua, baru-baru ini. Wakil Presiden Jusuf Kalla malah menyebut sebab dari kasus pembakaran masjid di Papua ini adalah gara-gara speaker atau pengeras suara Masjid.
Menurut ketua DPP HTI Rochmat S. Labib, pernyataan JK ini mengesankan seolah-olah umat Islamlah yang menjadi pemicu. Hal ini merupakan pola berulang, selalu menyalahkan umat Islam yang menjadi korban. Padahal, adanya surat larangan yang dikeluarkan gereja terhadap ibadah umat Islam, menunjukkan masalah ini bukan sekedar speaker. Ditambah lagi adanya berbagai bentuk tekanan terhadap umat Islam selama ini di beberapa tempat di Papua. “Kalaupun ada masalah pengeras suara, apakah kemudian boleh bakar-bakaran seperti itu ?” tanyanya. Apalagi, lanjutnya, shalat Idul fitri tidaklah membutuhkan waktu lama, biasanya, tidak lebih dari 1 jam, apa salahnya memberikan umat Islam kesempatan dalam waktu yang tidak begitu lama untuk beribadah, ujarnya. (hizbut-tahrir.or.id, 18/7/2015).
Akar Masalah
Diskriminasi yang diawali dari surat edaran GIDI (Gereja Injili di Indonesia) yang berujung pada serangan terhadap umat Islam di Papua, menunjukan kepada kita bahwa regulasi dan kebijakan yang ada di negeri ini, telah gagal menjamin rasa aman, serta tidak ramah terhadap kaum muslim, baik sebagai mayoritas, apalagi jika menjadi minoritas.
Selain itu, penguasa negeri muslim ini nampak sekali tidak membela umat Islam. Bahkan umat Islam selalu disalahkan. Meski pada faktanya umat Islam adalah korban. Sedangkan umat agama yang lain, meski jelas-jelas ada sebagian pengikut menjadi kriminalnya, penguasa negeri ini tetap saja membela mereka, bahkan tidak keluar satu pun pernyataan mengutuk atau menyebut para pelaku tersebut sebagai tindakan teror.
Jika diamati secara serius, pangkal kisruh ini bermula ketika sistem Demokrasi diterapkan di negeri ini. Melalui mekanisme demokratis, apapun yang dihasilkannya pasti menjadi legal. Meski hasil dari mekanisme tersebut meniscayakan diskriminasi pada umat Islam, baik sebagai mayoritas, maupun minoritas. Kasus diangkatnya gubernur non muslim di Jakarta, diskriminasi terhadap umat Islam di Bali, di Tapanuli, Kupang NTT, Kalteng, di Papua, dll. merupakan bukti nyata, bagaimana Demokrasi tidak ramah terhadap umat Islam.
Terlebih dengan munculnya otonomi khusus di Papua, hal ini semakin menjadikan etnis dan kelompok tertentu yang berkuasa bak Raja. Melalui UU Otsus, pemerintah pusat memberikan dana yang besar dan mendelegasikan kewenangan untuk melahirkan berbagai aturan penyangga pelaksanaan Otsus di Papua, yang kemudian dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi. Hingga 2014, di Papua telah dibentuk 120 Perdasi dan Perdasus. Tentu tak satupun peraturan tersebut yang ramah terhadap muslim Papua.
Islam Ramah Terhadap Keragaman
Jadi sikap umat Islam terhadap insiden di Papua, tentu bukan membalas secara reaktif dan membabi buta terhadap umat kristiani di Indonesia. Jika hal ini terjadi justru itulah yang diinginkan Barat demi memecah belah wilayah negeri ini.
Solusi jangka pendek tentu mesti mengedepankan jalur hukum, agar aparat segera menindak para pelaku kriminal yang membakar masjid kaum muslim di Papua, sehingga para pembuat teror tersebut segera dihukum setimpal.
Dan agar diskriminasi terhadap umat Islam di Papua, maupun di wilayah lainnya tidak terulang kembali. Maka perlu solusi jangka panjang, yakni dengan mencampakkan Demokrasi yang banyak memuluskan aturan diskriminatif, dan berujung pada konflik horizontal yang merusak hubungan baik umat Islam dengan umat beragama lainnya. Lalu menerapkan Islam.
Islam dengan seperangkat aturannya, menurut Noor Afeefa (2013) dan M. Ishak (2008), telah memberikan pengaturan tentang masalah hubungan antar pemeluk agama, yang bisa dijabarkan sebagai berikut:

Pertama, Islam tidak menafikan adanya keragaman agama. Multikultur dalam masyarakat Islam juga biasa terjadi baik di masa pemerintahan Rasul saw –setelah hijrah di Madinah– maupun pada masa para khalifah sesudahnya. Seseorang tidak akan dipaksa memeluk Islam (QS. Al-Baqarah [2]: 256), sehingga ketika Islam diterapkan di negeri ini, tidak lantas umat agama lain diberangus. Meskipun demikian, kepada mereka tetap disampaikan dakwah Islam, terutama dakwah secara praktis melalui penerapan syariah Islam dalam negara, agar mereka merasakan keagungan dan keadilan Islam.
Kedua, karena keragaman ini diakui Islam, maka Islam pun memiliki seperangkat aturan untuk mengaturnya. Bentuk pengaturan tersebut nampak secara praktis dalam kehidupan kaum muslim di bawah kepemimpinan Rasulullah saw sebagai kepala negara yang berpusat di Madinah. Islam mengajarkan cara hidup berdampingan dengan penganut agama lain dalam sebuah negara.
Dalam negara Islam, rakyat non-muslim disebut kafir dzimmi. Daulah Islam tentu membiarkan keyakinan, menjaga kehormatan, akal, kehidupan, dan harta mereka. Sebagai warga negara, mereka memperoleh perlakuan yang sama. Tidak ada diskriminasi antara muslim dan dzimmi. Rasul saw bersabda: “Barangsiapa yang menyakiti kafir dzimmi, maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapa berperkara denganku, maka aku akan memperkarakannya pada hari kiamat.” (HR. As-Suyuthi, Al-Jâmi’ as-Shagîr, 8270).
Ketiga, Islam pun menjaga agar relasi antar umat beragama tidak mengarah pada runtuhnya bangunan Islam. Islam memberi batasan tegas antara kebenaran dan kebatilan, keimanan dan kekufuran, yang makruf dan yang munkar, atau upaya penyesatan dan dakwah kepada kebenaran. Hal demikian tetap menjadi pegangan menjaga kurukunan. Artinya, Islam menghendaki kehidupan rukun antar pemeluk agama tetap berada dalam batasan syariat. Misalnya, tidak mencampur adukkan yang haq dan batil, yang halal dan haram, yang benar dan salah, yang Islam dan kufur. (lihat, QS. Al-kâfirûn [109]: 6). Karena itu gerakan seperti pluralisme agama dan misionaris di dalam negara Islam pasti akan dilarang.
Rasul saw berhasil menciptakan kerukunan antar kelompok penganut agama dengan perjanjian yang beliau buat (Piagam Madinah). Semua rakyat terikat perjanjian tersebut. Apabila ada yang melanggarnya, maka dianggap membuat front yang layak dilawan negara. Sehingga negara dalam Islam bisa membangun mekanisme kehidupan yang baik antar penganut agama.
Dengan menelaah hukum syariah, pengaturan relasi antara muslim dan warga non muslim dalam daulah Islam, terangkum dalam poin-poin berikut:
(1) Dalam masalah akidah, kafir dzimmi dibiarkan untuk menganut keyakinan dan menjalankan kegiatan ibadah mereka. Dari ‘Urwah bin Zubair, ia berkata, “Rasulullah Saw pernah menulis surat kepada penduduk Yaman, ”Siapa saja yang tetap memeluk agama Nashrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya, mereka hanya wajib membayar jizyah.” (HR. Abu ‘Ubaid).
(2) Dalam masalah politik, ekonomi dan sanksi hukum, maka Kafir dzimmi wajib taat dan patuh pada seluruh hukum syariah yang diterapkan dalam kehidupan publik. Hukum yang diberlakukan kepada mereka, sama seperti yang diberlakukan atas kaum muslim. Jaminan kesejahteraan pun diberikan tanpa perbedaan. Rasul saw bersabda: “Berilah makan orang yang lapar, jenguklah orang yang sakit dan bebaskan tawanan.” (HR. Al-Bukhari, 4954, 5217).
Rasul pernah menerapkan qishash terhadap orang Yahudi sebagai hukuman karena orang Yahudi itu membunuh seorang perempuan (HR. Al-Bukhari, 6369). Serta, ketika sepasang orang Yahudi, laki-laki dan perempuan berzina, Rasul pun merajam mereka berdua (HR. Al-Bukhari, 6320).
Menurut Abdurrahman al-Maliki, setiap orang yang memicu fitnah (kerusuhan) di tengah masyarakat, maka bisa saja dikenakan sanksi cambuk dan penjara mulai dari 3 tahun hingga 20 tahun, bahkan jika kategori berat boleh sampai hukuman mati dan disalib.
Begitupun setiap tidakan teror yang mengakibatkan guncangan keamanan, atau instabilitas di masyarakat, atau membuat aktivitas masyarakat lumpuh, maka pelakunya diberi sanksi penjara 6 bulan hingga 5 tahun. (Nizhâm al-Uqûbât, 1990).
(3) Sementara dalam kehidupan privat, non muslim diberi keleluasaan mengkonsumsi makanan dan minum, termasuk babi dan khamar. Tentu saja, hal itu tidak boleh dilakukan di tempat umum. Demikan pula dengan pakaian, kaum wanitanya tidak dipaksa memakai jilbab, kecuali mereka keluar rumah dalam urusan publik, ini demi menjaga moral masyarakat. Urusan pernikahan dan perceraian di antara mereka juga diatur berdasarkan agama mereka.
Dengan aturan seperti ini, Islam mampu menjaga sebuah negara, meski sangat beragam dan sangat luas wilayahnya. Dan mampu melenyapkan tren diskriminasi yang popular terjadi dalam negara Demokrasi.
Kemampuan Khilafah Islam menghilangkan diskriminasi sudah menjadi fakta sejarah. Seorang Orientalis Inggris, TW Arnold menyatakan: “The treatment of their Christian subjects by the Ottoman emperors -at least for two centuries after their conquest of Greece- exhibits a toleration such as was at that time quite unknown in the rest of Europe…” (Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani –selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani– telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa…) [The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, 1896, hal. 134]. Wallahu a’lam. []
Oleh: Yan S. Prasetiadi, M.Ag, Penulis Buku Studi Islam Paradigma Komprehensifimam.almujtahid@gmail.com

No comments:

Post a Comment